¯End of The Strom¯
Author : Phiieong
Part 1
I Need a Rest
Bunyi klakson kendaraan siang ini
menambah panas suasana Jakarta. Orang-orang yang tengah berlalu lalang
mempercepat langkah kaki mereka agar segera sampai ketempat kerja mereka. Namun
ditengah kerumunan orang-orang tersebut, seorang gadis muda, kira-kira berumur
19 tahun, tengah asik melahap es krimnya seorang diri. Pakaiannya rapi, dengan
blazer putih dan dipadukan dengan rok berwarna cream, senada dengan kemejanya.
Wajah gadis itu agak kemerahan
karena panas matahari yang menyengatnya. Dia menyibakan poninya dengan tangan
kirinya yang bebas karena keringat mulai membasahi wajahnya.
“Ahh !! “ teriaknya pelan. Dia melihat
ibu jari kanannya terkena lelehan es krim. Buru-buru dia mengambil tissue yang
ada disaku blazernya dan mengelap jari-jarinya yang ikut mencicipi es krim
vannila miliknya. Dia berhenti sejenak di sebuah pohon yang agak rindang untuk
melahap eskrimnya dengan segera sekaligus berteduh.
“ Duh panas banget cuaca hari ini. “
keluh Diandra. Gadis yang telah menghabiskan eskrimnya itu kini hanya berdiri
sambil sesekali mengibas-ibaskan tangan ke wajahnya, berharap agar ada sedikit
angin. Cuaca hari ini benar-benar sangat panas ditambah tidak ada angin yang
berhembus. Diandra melirik jam berwarna keemasan yang melingkar di pergelangan
tangan kirinya.
“ Jam 2 kurang.” Gumamnya. Diandra menghela
nafas dan memandang langit Jakarta dibalik sela-sela rimbunan daun. Dia mengingat-ingat
kejadian yang baru saja dialaminya.
Pagi tadi dia berangkat cukup pagi
dan bersiap untuk melakukan interview disalah satu kantor dikawasan Blok M. Semalam
Diandra tidak bisa tidur membayangkan interview hari ini. Dia amat tidak
menyangka jika lamaran kerja miliknya diterima dan berhasil masuk tahap
wawancara. Maklum saja, sudah tiga bulan belakangan ini Diandra telah melamar
kerja dibeberapa perusahaan namun tidak satupun yang menghubunginya.
Diandra hanya lulusan SMA disalah
satu sekolah negeri di Jakarta. Setelah lulus, Diandra memutuskan untuk mencari
pekerjaan, membantu kakak perempuannya untuk bertahan hidup. Namun hingga hari
ini tak satupun pekerjaan yang didapatnya. Getaran ponsel Diandra membawanya
kembali dari lamunanya. Dia merogoh kantong di roknya dan membaca nama
pemanggil dilayar ponselnya. Kak Ica, begitu yang terlihat dilayar ponselnya. Cepat-cepat
Diandra mengangkatnya.
“ Halo.” Gumam Diandra pelan.
“ Halo, Nda ? Kamu udah selesai
wawancaranya kan?” tanya Bianca,nama kak Ica, di seberang sana.
“iya.” Jawab Diandra singkat.
“hemm, Nda, bisa kan kamu bantu kakak?”
pinta Bianca kemudian.
Wajah
Diandra berubah sedikit kesal mendengar ucapan kakaknya itu. “iya aku tahu
harus ngapain. Aku langsung kesana.” Jawab Diandra cepat dan segera mengakhiri
percakapannya lalu bergegas pergi.
Diandra sekarang sudah berada di
sebuah gedung sekolah bercat hijau-putih. Banyak anak-anak berseragam
putih-merah mulai keluar dan berlarian ke arah parkiran atau berlarian kearah
orang tua atau supir yang menjemput mereka. Mata Diandra sekarang sibuk
mencari-cari anak yang harus segera dibawanya pulang ke apartemen kakaknya.
“ Aduh, kemana lagi itu anak ! “
gerutu Diandra.
“ DOORR !! “
Diandra
menoleh dan mendapati keponakannya itu tengah berdiri dibelakangnya sambil
cengengesan.
“ Duhh, kak Anda gak kaget tau. Kamu
kok udah keluar tapi kakak gak liat sih ?” tanyanya bingung.
“ kakak sih bengong ajah bukannya
nyariin Leo.” Sergahnya.
Diandra
tersenyum melihat keponakannya itu lalu segera membawanya pulang.
äää
“ Mau pesan apa? “ tanya pelayan
berseragam merah lengkap dengan topi kecil dikepalanya.
“ 2 paha ayam. 2 nasi dan 2 cola.” Sahut
Diandra.
“ Es krim juga.” Pinta Leo sambil
menarik tangan kanan Diandra yang dibalas dengan tatapan sinis. Membuat Leo
cemberut.
“ jadi 2 ayam, 2 nasi, 2 cola. Ada
lagi yang lain?” kata pelayan resto ramah.
Dengan segera Diandra menyahut “
Nggak ada.”
“ Semuanya Rp 62,000 “ kata pelayan
resto kemudian.
Diandra
menarik uang 100,000 dari dompetnya dan memberikannya pada pelayan itu. Dia agak
kecewa, itu adalah uang terakhir di dompetnya. Sebenarnya Diandra tak berniat
mengajak keponakannya itu makan diluar karena dikulkas ada sisa soto ayam
semalam, tapi Leo terus merengek sepanjang jalan hingga pada akhirnya Diandra
mengajaknya ke tempat ini.
“Untung masih ada kembalian buat
ongkos pulang.” gumam Diandra dalam hati.
“ Ini pesanannya. Silahkan.” Kata pelayan
resto tiba-tiba, membuat Diandra sedikit tersentak.
“ Leo bawa ini ya. Jangan sampai
tumpah.” Kata Diandra sembari menyodorkan 2 buah cola ke tangan Leo yang masih
agak cemberut.
“ Udah donk marahnya. Masa ngambek
gara-gara eskrim. Gak asik akh.” Canda Diandra sambil menaruh baki berisis ayam
dan nasi ke meja. “ Ini kan kamu minta makan ayam, tadinya kak Anda males tau.
Sayang duit.“ sambung Diandra. Leo menatap Diandra sejenak lalu buru-buru mengambil
ayam dan nasi miliknya.
“ Lain kali ajah eskrimnya. Tapi harus
dibeliin.” Kata Leo disela-sela makannya. Diandra hanya membalasnya dengan
senyum. Dia geli melihat tingkah keponakannya yang suka seenaknya itu lalu
terkekeh pelan.
Saat
tengah asik menggigit daging ayamnya, ponsel Diandra bergetar. Kedua tanganya
kotor. Dia tidak dapat mengangkat panggilan itu. Pasti dari kak Ica, pikirnya. Diandra
menghiraukan panggilan itu dan melanjutkan makannya.
“Tuh kan bener dari kak Ica.” Kata Diandra
sambil menarik kunci lalu membuka pintu kamar apartemen bernomor 238. Leo segera
berlari menuju sofa, melempar tas, sepatu dan kaus kakinya seperti menimbulkan
jejak.
“ Leooo !!!” teriak Diandra. Leo
hanya diam.
“ Leo beresin semuanya. Jangan males
!” bentak Diandra. Leo hanya mengerang pelan. Diandra menatap Leo dengan
tatapan kesal.
“ Duh anak ini, kalo bukan keponakan
udah gue marahin abis-abisan deh.” Gerutu Diandra dalam hati. Dia lalu pergi ke
kamarnya meninggalkan Leo yang masih duduk malas di sofa.
äää
Jam weker biri dikamar Diandra terus
berdering. Namun tak ada tanda-tanda jika Diandra mendengar kebisingan suara
weker dimeja kecil berbentuk persegi berbahan kayu jati itu. Padahal biasanya
Diandra adalah orang yang ditugaskan membangunkan kakaknya tapi pagi ini
Diandra benar-benar tertidur pulas. Maklum saja, semalaman dia bergadang
membuat surat lamaran baru.
“ Anda... Anda !!” teriak Bianca dari
balik pintu kamar Diandra. Anda adalah sapaan akrab Diandra.
“Anda !!” teriak kakaknya lagi
sembari mengetuk-ngetuk pintu. Tapi tidak ada reaksi sama sekali dari Diandra. Jam
wekernya tetap saja berbunyi.
“ Duh itu anak tuli apa?” keluh Bianca
yang berlalu kekamarnya untuk membangunkan anak semata wayangnya, Leo.
Setelah Bianca kembali kekamarnya,
Diandar mulai menggeliat. Tangan kanannya menggaruk-garuk rambut panjangnya
yang terurai. Matanya masih tertutup rapat. Ditengah kesadarannya yang masih
seperempat itu, tangan kirinya meraba-raba, mencari jam weker yang sejak tadi
berdering.
“Ukhh,, berisik.” Gerutu Diandra
sambil menekan tombol off dibelakang jam weker. Matanya mengerjap-ngerjap,
beusaha bangun.
“Anda kamu undah bangun ya?” tanya
Bianca yang menyadari jam weker tidak lagi berdering dan itu menandakan jika
Diandra sudah terbangun.
“Iyaa.” Sahut Diandra.
“ Ayo cepat keluar, sarapan dulu.” Timpal
Bianca. Diandra mengusap-usap perutnya. Semalam saat sedang begadang, Diandra
membuat satu gelas susu coklat panas dan 2 bungkus mie instan rasa kari ayam. Perutnya
kini masih terasa kenyang. Tapi Diandra tetap bangun dan beranjak keluar
kamarnya walaupun dalam hati dia lebih memilih tidur. Saat membuka pintu,
hidung Diandra mengendus aroma yang tak asing baginya.
“ Nah udah bangun dia. Cepet duduk,
Nda. Kakak buatin kamu pancake nih.” Seru Bianca. Mata Diandra terbelalak. Kini
dia sudah benar-benar terbangun dari tidurnya. Buru-buru Diandra menghampiri
meja makan dan menarik salah satu kursi.
“Ini buat Leo dan ini buat Anda.” Kata
Bianca sembari meletakan pancake di piring keduanya.
“ Wangiii!!” seru Leo girang.
Diandra
menatap isi dipiring dihadapannya dengan mata berbinar-binar. Maklum pancake
buatan Bianca adalah salah satu makanan favoritenya.
“Kamu mau 2, Nda?” tanya Bianca
tiba-tiba.
“Akh enggak ka, cukup ini.” Sahut Diandra
sembari tersenyum.
Biasanya
dia bisa menghabiskan 3 atau 4 pancake saat sarapan, tapi karena perutnya masih
kenyang Diandra memilih satu pancake saja untuk pagi ini.
“Tumben.” Seru Leo membuat Diandra melirik
sinis kearahnya. Leo terkekeh.
“Nda, kemarin gimana? Kamu diterima?”
tanya Bianca sambil memotong sedikit pancake didepannya lalu memasukannya
kemulut. Diandra hanya menggeleng lesu.
“Udah, cari pelan-pelan saja. pasti
nanti diterima. Hari ini ada rencana buat melamar lagi?” tanya Bianca lagi.
“ Kayanya enggak deh. Aku dirumah
ajah seharian nanti. Paling keluar jemput tuh.” Kata Diandra sambil mencibirkan
bibirnya ke arah Leo yang tengah sibuk makan.
“Jangan bosen-bosen Nda jemput dia.”
Kata Bianca sambil mengusap kepala Leo yang duduk disebelahnya. “bantu kakak.” Lanjutnya.
“Iya kak.” Sahut Diandra singkat.
Setelah selesai makan, Bianca dan
Leo bergegas mandi dan langsung pergi. Bianca biasa mengantar Leo kesekolahnya.
Mereka naik taksi setiap harinya. Kebetulan kantor dan sekolah Leo searah. Kini
tinggal Diandra yang ada di apartemen itu. Diandra berjalan menghampiri remote
TV yang tergeletak disofa lalu menekan tombol berwarna hijau dan membanting
tubuhnya ke sofa berbahan Oscar berwarna hitam.
Jempol kanannya menekan tombol program
diremote, mencari acara TV yang bagus. Diandra menghela nafas menyaksikan acara
TV yang semakin hari semakin membosankan. Dengan segera ditekannya lagi tombol
power diremote dan TV LED hitam lengkap dengan home theater dikiri kanannya itu
mati.
Diandra menatap layat TV itu
beberapa saat sebelum akhirnya merebahkan kepalanya kebantalan sofa. Matanya nanar
memandangi plafon atas apartement itu. Pikirannya tiba-tiba melayang ke masa
dimana Bianca dan dirinya masih kecil. Tak banyak yang tahu bahwa mereka adalah
anak yatim-piatu. Kedua orang tua mereka meninggal dilahap api yang berasal
dari rumah mereka kala itu. Dulu Diandra dan keluarganya tinggal di Bandung. Semenjak
mereka menjadi yatim piatu, mereka diurus oleh tante dan nenek mereka yang juga
tinggal di Bandung. Kehidupan masa kecil mereka tidak begitu menggembirakan.
Diandra kala itu baru berumur 7 tahun, sedangkan Bianca umurnya 16 tahun,
walaupun usia Bianca dapat dikatakan remaja, tapi tak ada satupun orang yang
akan berkelakuan sesuai umur mereka saat mengetahui orang tua kita meninggalkan
kita begitu cepat. Semua orang pasti akan meraung-raung tak terkecuali Bianca.
Saat prosesi pemakaman, Bianca yang
jelas adalah kakak Diandra telihat seperti anak berusia 10 tahun yang menangis
tanpa henti karena boneka Teddy Bear miliknya terlindas ban mobil yang sedang
melintas. Namun pemandangan berbeda saat melihat sosok Diandra kecil. Dia
berdiri tepat disamping kanan Bianca, tapi tak ada setetespun air mata yang
membasahi pipinya. Tubuh kecilnya hanya berguncang hebat tapi tidak menangis.
Diandara tersadar dari lamunannya. Matanya
tetap memandang lurus langit-langit ruangan. Apartement yang kini dia dan
Bianca tinggali dibeli dari uang warisan kedua orangtuanya yang sebenarnya
cukup berada. Bianca dan Diandra diurus oleh tante dan neneknya hingga Bianca
berusia 20 tahun. Saat itu Bianca tengah hamil muda. Diandra kenal dengan suami
Bianca, kurang lebih 2 tahun mereka hidup bersama, namun tidak tahu karena
alasan apa mereka kini berpisah. Beruntung Bianca cukup pintar mencari uang. Disaat
usianya masih belasan tahun, dia giat bekerja Bianca mengumpulkan cukup uang
hingga memutuskan pindah ke Jakarta bersama Diandra.
Diandra menghela nafas panjang memikirkan
kehidupan masa lalunya yang amat berat. Dia memijat keningnya untuk beberapa
saat, kemudian terdengar bunyi deringan telepon membuat Diandra terpaksa
beranjak dari sofa dan menghampiri sumber suara.
“Halo.” Kata Diandra.
“......” tak ada sahutan dari
seberang sana.
Diandra sedikit jengkel, sebelum dia
memutuskan telepon, terdengar suara berbisik dari balik telepon.
“Siapa ini? Halo??” tanya Diandra
lagi.
“Ini Anda ya?” suara lelaki yang
terdengar agak gemetar malah balik bertanya diseberang sana.
Kening Diandra mengernyit bingung.
Anda. Tak banyak orang yang mengenal dekat Diandra, terutama laki-laki. Sapaan namanya
itu menandakan jika orang yang ada di balik suara itu cukup kenal Diandra.
“Anda? Diandra? Kamu ingat aku kan?
Kakak iparmu.” Seru lelaki diseberang sana.
Sontak Diandra terkejut. Rahangnya
mengeras dan matanya terbelalak kaget. Suami Bianca sedang menelponnya. “Gue
harus ngomong apa?” tanya Diandra pada dirinya sendiri.
“Iya aku inget kok, kak Sandy kan?”
gumamnya agak gugup.
“Iya Nda. Tolong bantu kakak Nda. Aku
mau ketemu sama Bianca dan Leo. Aku benar-benar merindukan mereka. Bantu kakak,
Nda. Aku tahu dimana kalian tinggal, tapi gak mungkin aku kesana. Kamu tahu
kakakmu dengan baik.” Kata Sandy panjang lebar.
Diandra lagi-lagi menghela nafas. Bingung
harus berbuat apa. Diandra yakin Bianca, kakaknya, masih mencintai Sandy. Saat penikahan
mereka di Bandung saat itu, baik Bianca maupun Sandy terlihat bahagia. Walau
pernikahan mereka sempat diwarnai protes dari Om Deo, suami tante Ina yang
mengurus Diandra dan Bianca, namun toh
akhrinya mereka menikah karena hanya itulah cara yang tepat. Bianca sedang
hamil muda, bagaimana mungkin Bianca menolak tawaran Sandy yang mau bertanggung
jawab terhadap janin yang ada diperut Bianca ketika itu. Setelah menikah,
Bianca mengajak Diandra ke Jakarta. Awalnya Sandy tak ingin ikut karena dia
memiliki toko kelontong di Bandung tapi demi bersama Bianca, Sandy rela
mengikuti Bianca. Saat di Jakarta, Bianca melamar pekerjaan beberapa perusahaan
dan akhirnya mendapatkan pekerjaan yang sampai sekarang masih dijalaninya.
Bianca jadi ibu sekaligus seorang pencari nafkah, kerena hampir 70% kebutuhan
rumah tangga dia yang menanggung.
Diandra masih diam seribu bahasa. Suara
nafas dari hidungnya agak tercekat akibat shock.
“Anda?” gumam Sandy lirih, membuat
Diandra kaget.
“Aku akan coba bicarakan ini dengan
kak Ica. Tapi kumohon jangan coba-coba kak Sandy muncul sebelum aku memberitahu
kakak kalo kak Ica sudah bisa terima kakak.”
Kata-kata itu mengalir begitu saja
tanpa Diandra pikir sebelumnya. Diandra tidak tahu apa jawaban itu mampu
melegakan hati Sandy saat ini.
“Ah, terima kasih, Nda. Kamu memang
adik-ku yang terhebat.” Seru Sandy girang.
Diandra tersenyum. Sepertinya kalimat
yang dia ucapkan cukup bijak bagi masalah ini.
“Aku akan telepon lagi lain kali. Salam
untuknya dan Leo.” Kalimat itu menyudahi telepon dari Sandy.
Diandra meletakan kembali teleponya
dan berjalan menuju kamarnya. Matanya menerawang. Pikirannya seperti terjejal
oleh banyak batu, membuat kepalanya agak berat.
“Gue perlu istirahat nih.” Gumam Diandra
sembari merebahkan dirinya dikasur berlapiskan seprai berwarna coklat dengan
motif kotak mozaik abu dan hitam. Matanya dipejamkan dan tak beberapa lama
Diandra sudah terlelap.
äää
0 Comment:
Posting Komentar